Rabu, 16 Mei 2012

Meluruskan Kesalahfaman terhadap Konsep Gender

Diskursus tentang gender sebagai sebuah konsep yang relatif baru masih terus menggelinding, menembus sekat-sekat birokrasi, perguruan tinggi, pondok pesantren, bahkan rumah tangga. Meskipun perbincangan tentang gender sudah semakin merebak –setidaknya sepanjang beberapa dekade terakhir–  namun masih sering ditemukan kesalahpahaman, kecurigaan maupun ketakutan ketika istilah gender dikemukakan. Ada beberapa catatan terkait kesalahpahaman terhadap pemaknaan gender. Pertama, konsep gender sebagai sebuah istilah asing menimbulkan kecurigaan dan bahkan menimbulkan ketakutan. Hal ini cukup dapat dipahami karena gender adalah sebuah istilah asing dan tidak berasal langsung dari bahasa Indonesia. Jadi lumrah bila ada orang yang curiga pada konsep gender, mengingat dalam diri manusia secara naluriah terdapat potensi untuk takut, was-was terhadap hal-hal yang belum ia kenal atau yang masih asing baginya. Kedua, istilah gender sebagai sebuah konsep yang relatif baru masih sering disalah-pahami. Kesalahpahaman ini bukan hanya terjadi di kalangan awam, tetapi juga menimpa kalangan terpelajar. Misalnya, konsep gender sering disamakan dengan upaya memperoleh kesetaran, persamaan hak dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Ini juga suatu pemaknaan yang tidak tepat. Karena gender dengan demikian disamakan dengan gerakan emansipasi atau feminisme. Padahal gender dan feminisme adalah dua konsep yang berbeda sama sekali. Begitu pula gender dan gerakan emansipasi juga adalah dua konsep yang berbeda satu sama lain.
            Kesalahpahaman lainnya adalah ketika istilah gender dirancukan dengan istilah jenis kelamin. Dan lebih rancu lagi ketika gender diartikan sama dengan “jenis kelamin perempuan”. Begitu disebut gender, yang terbayang dalam benak mereka adalah sosok manusia dengan jenis kelamin perempuan. Ini jelas suatu pemaknaan yang keliru, karena gender bukan hanya menyangkut jenis kelamin perempuan melainkan juga jenis kelamin laki-laki.
            Karena itu, penting sekali memahami terlebih dahulu perbedaan antara jenis kelamin (sex) dan gender. Sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Dengan kata lain, jenis kelamin (sex) adalah perbedaan biologis hormonal dan patologis antara perempuan dan laki-laki,[1] misalnya laki-laki memiliki penis, testis, dan sperma, sedangkan perempuan mempunyai vagina, payudara, ovum dan rahim. Laki-laki dan perempuan secara biologis berbeda, dan masing-masing mempunyai keterbatasan dan kelebihan biologis tertentu. Misalnya, perempuan bisa mengandung, melahirkan, dan menyusui bayinya, sementara laki-laki memproduksi sperma. Perbedaan biologis tersebut bersifat kodrati, atau pemberian Tuhan, dan tak seorangpun dapat mengubahnya.[2]
Lalu apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gender? Dalam Women’s Studies Encyclopedia, gender diartikan sebagai suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.[3] Dengan kata lain, gender adalah sebuah konstruksi sosio-kultural, sebuah kesepakatan masyarakat yang memberikan kaplingan kepada laki-laki dan perempuan secara mencolok. Gender merupakan kesepakatan masyarakat tentang sikap, peran, tanggungjawab, fungsi, hak dan perilaku yang dipandang pantas/sesuai untuk laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, perempuan karena ia punya rahim, maka ia dipandang sebagai penglahir, pengasuh dan pendidik anak, pelayan suami. Dari segi sifat, perempuan digambarkan sebagai figur yang lemah, pemalu, penakut, emosional, lembut, gemulai dan rapuh. Sementara laki-laki, karena dianggap sosok yang kuat, dipandang pantas atau layak sebagai pekerja di luar rumah, pencari nafkah dan pemimpin. Dari segi sifat, ia digambarkan sebagai manusia yang kuat, perkasa, berani, rasional dan tegar. Karena itu laki-laki harus jantan, tidak boleh cengeng. Karena cengeng dan menangis ketika mendapat masalah  dipandang lebih pantas atau sesuai bagi perempuan. Laki-laki akan mendapat ejekan  kalau ia menangis kala mendapat masalah. 
Uraian di atas memperlihatkan secara jelas perbedaan antara sex dan gender. Bila istilah sex (jenis kelamin) lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, repsroduksi, dan karakteristik biologis lainnya, maka gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya.[4]
            Salah satu hal yang menarik mengenai peran gender adalah peran-peran itu tidak bersifat mutlak, melainkan dapat berubah seiring waktu dan sesuai dengan perubahan masyarakat. Dulu, menyetir mobil atau jadi pilot dianggap hanya cocok bagi laki-laki, sekarang orang sudah mulai memandang menyetir mobil atau jadi pilot juga pantas bagi perempuan. Selain itu, konsep gender dapat berbeda antara masyarakat di sebuah negara dengan masyarakat di negara lainnya. Sebagai contoh, apa yang dipandang pantas bagi laki-laki dan perempuan di Amerika jelas berbeda dengan apa yang dipandang pantas bagi laki-laki dan perempuan di Indonesia. Karena nilai-nilai yang dianut berbeda baik nilai adat, budaya, hukum maupun nilai-nilai agama. Peran itu juga amat dipengaruhi oleh kelas sosial, usia, dan latar belakang etnis.[5]


[1]. H.T. Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense of Civilization, ( New York, Kobenhavn, Koln: E. J. Brill, 1989), hlm. 2.
[2]. Dr. Siti Musdah Mulia, MA, APU dkk, Keadilan dan Kesetaraan Gender (Perspektif Islam), (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 2003), hlm. viii.
[3]. Helen Tierney (ed.), Women’s Studies Encyclopedia, Vol. 1, (New York: Green Wood Press, T.Th), hlm. 153.
[4].  Linda L. Lindsey, Gender Roles: a Sociological Perspective, (New Jersey: Prentice Hall, 1990), hlm. 2.
[5]. Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, (Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Centre, 2003), hlm. 3-4. Di Inggris abad ke-19, ada anggapan bahwa kaum perempuan tidak pantas bekerja di luar rumah guna mendapatkan upah. Tetapi pandangan yang lebih belakangan menunjukkan bahwa anggapan ini hanya berlaku bagi perempuan kelas menengah dan kelas atas. Kaum perempuan kelas bawah diharapkan bekerja sebagai pembantu (servant) bagi kaum perempuan yang dilahirkan tidak untuk bekerja sendiri. Di Bangladesh, misalnya, banyak perempuan Muslim menganggap tidak pantas untuk terlibat dalam lapangan kerja yang dibayar. Namun adabanyak perempuan Muslim lainnya terpaksa bekerja –seringkali sebagai pembantu rumah tangga—karena kesulitan ekonomi. 

An Analysis of Intellectual Genealogy and Islamic Though in the Nineteenth Century Malay Riau Kingdom

Project description:
Nineteenth century was a brilliant period of Riau in intellectual and cultural tradition. The extensive writing tradition as an intellectual activity was taking place at that moment. There are many writers who emerged during this century. At least, there were twenty four intellectuals noted who had produced works in subjects such as law, fiction, religion, and history like Raja Ahmad, Raja ali Haji, R. Abu Muhammad Adnan, Raja Aisah Sulaiman and Raja Ali Kelana -just to mention some names.
Dealing with nineteenth century's works, many still assume that Malay Riau writers only produced historical works, fictive poets, and grammar. Researchers or writers rarely study about Malay Riau works that have Islam as their background.  It is because, only some books like Tuhfat al-Nafis, Silsilah Melayu Bugis, Syair Abdul Muluk, Bustanul Katibin, and Kitab Pengetahuan Bahasa  that have been extensively studied by the scholars, not religious book concerning such as Islamic political thought, theology, law, jurisprudence, and sufism. In fact, religion had become determinant factor that promoted the intellectual activities and creativities as well as Malay culture. In the pre-Islamic period, according to Hasan Junus, Malay Riau culture "was no more than a peripheral culture which did not pay attention to intellectual activities. Even thought there were no Islamic intellectual as popular as those of Aceh, Palembang, Banjarmasin, and Pattani, but one thing interesting is that the Malay Riau intellectual's works in history, grammar, and poets consists of Islamic teachings and moral messages.
The background described above has encouraged me to study further about the Intellectual Genealogy and Islamic Though in the Nineteenth Century Malay Riau Kingdom. Therefore, this study not only aims at explaining genealogy (the dynamics, transformation, and discontinuity in historical development) of Malay intellectuals, but also aims at describing socio-intellectual tradition and development of Islamic thought.  The clear explanation on the genealogy of intellectuals is expected to provide new insight dealing with diachronic movement and intellectual chain among generations of the Malay Riau intellectuals. Meanwhile, the clear description of socio-intellectual tradition and development of Islamic thought is expected to explain the development of intellectual tradition and Islamic thought in the nineteenth century as a chain of Islamic intellectual development before and after that century.

(Project done while being Postdoctoral fellow at International Institute for Asian Studies (IIAS), Leiden University)