Diskursus tentang gender sebagai sebuah
konsep yang relatif baru masih terus menggelinding, menembus sekat-sekat
birokrasi, perguruan tinggi, pondok pesantren, bahkan rumah tangga. Meskipun
perbincangan tentang gender sudah semakin merebak –setidaknya sepanjang beberapa
dekade terakhir– namun masih sering
ditemukan kesalahpahaman, kecurigaan maupun ketakutan ketika istilah gender
dikemukakan. Ada
beberapa catatan terkait kesalahpahaman terhadap pemaknaan gender. Pertama, konsep gender sebagai sebuah
istilah asing menimbulkan kecurigaan dan bahkan menimbulkan ketakutan. Hal ini
cukup dapat dipahami karena gender adalah sebuah istilah asing dan tidak
berasal langsung dari bahasa Indonesia. Jadi lumrah
bila ada orang
yang curiga pada konsep gender, mengingat dalam diri manusia secara naluriah
terdapat potensi untuk takut, was-was terhadap hal-hal yang belum ia kenal atau
yang masih asing baginya. Kedua,
istilah gender sebagai sebuah konsep yang relatif baru masih sering
disalah-pahami. Kesalahpahaman ini bukan hanya terjadi di kalangan awam, tetapi
juga menimpa kalangan terpelajar. Misalnya,
konsep gender sering disamakan dengan upaya memperoleh kesetaran, persamaan hak
dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Ini juga suatu pemaknaan
yang tidak tepat. Karena gender dengan demikian disamakan dengan gerakan emansipasi atau
feminisme. Padahal gender dan feminisme adalah dua konsep yang berbeda sama
sekali. Begitu pula gender dan gerakan
emansipasi juga adalah dua konsep yang berbeda satu sama lain.
Kesalahpahaman
lainnya adalah ketika istilah gender dirancukan dengan istilah jenis kelamin. Dan
lebih rancu lagi ketika gender diartikan sama dengan “jenis kelamin perempuan”.
Begitu disebut gender, yang
terbayang dalam benak mereka adalah sosok manusia dengan jenis kelamin
perempuan. Ini jelas suatu pemaknaan yang keliru, karena gender bukan hanya
menyangkut jenis kelamin perempuan melainkan juga jenis kelamin laki-laki.
Karena itu, penting sekali
memahami terlebih dahulu perbedaan antara jenis kelamin (sex) dan gender. Sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Dengan kata lain, jenis kelamin (sex) adalah perbedaan biologis hormonal
dan patologis antara perempuan dan laki-laki,[1] misalnya laki-laki memiliki penis,
testis, dan sperma, sedangkan perempuan mempunyai vagina, payudara, ovum dan
rahim. Laki-laki dan perempuan secara biologis berbeda, dan
masing-masing mempunyai keterbatasan dan kelebihan biologis tertentu. Misalnya,
perempuan bisa mengandung, melahirkan, dan menyusui bayinya, sementara
laki-laki memproduksi sperma. Perbedaan biologis tersebut bersifat kodrati,
atau pemberian Tuhan, dan tak seorangpun dapat mengubahnya.[2]
Lalu apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gender? Dalam Women’s Studies Encyclopedia, gender
diartikan sebagai suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,
mentalitas, karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat.[3] Dengan kata lain, gender adalah sebuah
konstruksi sosio-kultural, sebuah kesepakatan masyarakat yang memberikan
kaplingan kepada laki-laki dan perempuan secara mencolok. Gender merupakan
kesepakatan masyarakat tentang sikap, peran, tanggungjawab, fungsi, hak dan
perilaku yang dipandang pantas/sesuai untuk laki-laki dan perempuan. Sebagai
contoh, perempuan karena ia punya rahim, maka ia dipandang sebagai penglahir,
pengasuh dan pendidik anak, pelayan suami. Dari segi sifat, perempuan
digambarkan sebagai figur yang lemah, pemalu, penakut, emosional, lembut,
gemulai dan rapuh. Sementara laki-laki, karena dianggap sosok yang kuat, dipandang
pantas atau layak sebagai pekerja di luar rumah, pencari nafkah dan pemimpin. Dari
segi sifat, ia digambarkan sebagai manusia yang kuat, perkasa, berani, rasional
dan tegar. Karena itu laki-laki harus jantan, tidak boleh cengeng. Karena
cengeng dan menangis ketika mendapat masalah
dipandang lebih pantas atau sesuai bagi perempuan. Laki-laki akan
mendapat ejekan kalau ia menangis kala
mendapat masalah.
Uraian di atas memperlihatkan secara jelas perbedaan antara sex dan gender.
Bila istilah sex (jenis kelamin) lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek
biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh,
anatomi fisik, repsroduksi, dan karakteristik biologis lainnya, maka gender
lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek
non biologis lainnya.[4]
Salah satu hal yang
menarik mengenai peran gender adalah peran-peran itu tidak bersifat mutlak,
melainkan dapat berubah seiring waktu dan sesuai dengan perubahan masyarakat. Dulu,
menyetir mobil atau jadi pilot dianggap hanya cocok bagi laki-laki, sekarang
orang sudah mulai memandang menyetir mobil atau jadi pilot juga pantas bagi
perempuan. Selain itu, konsep gender dapat berbeda antara masyarakat di sebuah
negara dengan masyarakat di negara lainnya. Sebagai contoh, apa yang
dipandang pantas bagi laki-laki dan perempuan di Amerika jelas berbeda dengan
apa yang dipandang pantas bagi laki-laki dan perempuan di Indonesia. Karena nilai-nilai yang
dianut berbeda baik nilai adat, budaya, hukum maupun nilai-nilai agama. Peran
itu juga amat dipengaruhi oleh kelas sosial, usia, dan latar belakang etnis.[5]
[1]. H.T.
Wilson, Sex and Gender, Making Cultural
Sense of Civilization, ( New York,
Kobenhavn, Koln: E. J. Brill, 1989), hlm. 2.
[2]. Dr.
Siti Musdah Mulia, MA, APU dkk, Keadilan
dan Kesetaraan Gender (Perspektif Islam), (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender,
2003), hlm. viii.
[3]. Helen
Tierney (ed.), Women’s Studies
Encyclopedia, Vol. 1, (New York:
Green Wood Press, T.Th), hlm. 153.
[4]. Linda L. Lindsey, Gender Roles: a Sociological Perspective, (New Jersey: Prentice Hall, 1990), hlm. 2.
[5]. Julia
Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, (Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Centre, 2003),
hlm. 3-4. Di Inggris abad ke-19, ada anggapan bahwa kaum perempuan tidak pantas
bekerja di luar rumah guna mendapatkan upah. Tetapi pandangan yang lebih
belakangan menunjukkan bahwa anggapan ini hanya berlaku bagi perempuan kelas
menengah dan kelas atas. Kaum perempuan kelas bawah diharapkan bekerja sebagai
pembantu (servant) bagi kaum
perempuan yang dilahirkan tidak untuk bekerja sendiri. Di Bangladesh, misalnya,
banyak perempuan Muslim menganggap tidak pantas untuk terlibat dalam lapangan
kerja yang dibayar. Namun
adabanyak perempuan Muslim lainnya terpaksa bekerja –seringkali sebagai
pembantu rumah tangga—karena kesulitan ekonomi.