Belajar di perguruan tinggi adalah
sebuah pilihan strategis untuk mempersiapkan diri menyongsong masa depan yang
lebih baik. Namun demikian, tidak semua orang beruntung, memperoleh kesempatan
dan peluang belajar di perguruan tinggi. Karena itu dapat belajar/melanjutkan
kuliah ke Perguaruan Tinggi adalah sebuah anugerah yang patut disyukuri. Karena
hanya orang yang memenuhi syarat saja yang dapat melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi, baik prasyarat yang
bersifat akademik, atau yang bersifat finansial. Ada orang yang mampu secara
akademik, namun tidak punya kemampuan secara finansial. Atau bisa juga
sebaliknya, memiliki kemampuan finansial yang baik, namun tidak memiliki
kemampuan akademik yang memadai untuk melanjutkan ke PT. Karena itu
bersyukurlah bahwa anda semua telah diberi rahmat, anugerah berupa kesempatan
untuk kuliah.
Kuliah di Perguruan Tinggi adalah
sebuah privilege (hak istimewa)
karena seperti disebutkan tadi, hanya orang yang memenuhi syarat saja yang
dapat melanjutkan kuliah. Dari 237 juta penduduk Indonesia, baru 5.2 juta orang
Indonesia yang mampu kuliah. Anda semua
adalah orang yang istimewa karena memperoleh keistimewaan itu, yaitu bisa
kuliah. Karena itu, idealnya orang yang mendapat privilege, berupa kemampuan
untuk kuliah, dituntut untuk berbuat atau bertindak lebih dari mereka yang
tidak mendapatkan kesempatan itu. Mereka yang kuliah dituntut untuk tidak hanya
mempunyai keterampilan teknis tetapi juga mempunyai kerangka pikir yang baik,
memiliki daya nalar yang baik, sikap
mental yang baik, memiliki kepribadian, dan kearifan, yang selanjutnya dapat
kita sebut sebagai “kepribadian sarjana”. Dengan memiliki “kepribadian sarjana”
, mereka yang berkesempatan kuliah akan mempunyai wawasan yang luas, dan memiliki
kemampuan yang berbeda dengan mereka yang tidak kuliah, terutama dalam
mengahadapi masalah kehidupan. Seorang sarjana mestilah memiliki kearifan.
Bagaimana ciri-ciri manusia arif? Mochtar Bukhari menyebutkan ciri-cirinya,
1.
Memiliki pengetahuan dan wawasan yang
luas
2.
Memiliki kecerdasan(smart), cerdas
dalam menyikapi masalah kehidupan
3.
Memiliki akal sehat (Common sense)
4.
Hati-hati dalam bersikap, tidak gegabah
dalam membuat keputusan
5.
Memahami dan mengamalkan norma-norma
kebenaran
6.
Mampu memaknai kehidupan.
Bila kita lihat pada
realitas, kepribadian keserjanaan seperti ciri-ciri ini tampaknya masih belum
terbentuk secara nyata. Karena saat ini kita lihat sebagian besar mereka yang
berkesempatan kuliah tidak jauh berbeda dengan mereka yang tidak kuliah.
Bedanya yang kuliah punya kartu mahasiswa sehingga statusnya lebih tinggi dan
terhormat. Setelah tamat, mereka meraih gelar sarjana. Namun banyak di antara
sarjana yang tidak memperlihatkan kepribadian sarjana.
Mengapa
hal ini terjadi? Antara lain disebabkan oleh kondisi belajar –mengajar di
Perguruan Tinggi yang sampai saat ini masih belum dapat mengubah secara nyata
wawasan dan prilaku akademik mahasiswa. Hal ini
terindikasi dari kualitas pemahaman dan kemampuan penalaran sarjana kita yang rendah,
sikap mental yang belum kuat, serta
kepribadian yang belum terbentuk dengan baik, sehingga kurang memiliki
kearifan.
Bila keadaan ini yang memang terjadi, maka perguruan tinggi akan
menjadi sekedar tempat antre untuk memperoleh tiket masuk ke arena belajar yang
sesungguhnya yaitu praktik di dunia nyata. Perguruan Tinggi sulit diharapkan Perguaruan
Tinggi kita dapat
mengubah keadaan masyarakat menjadi lebih baik. Padahal, Perguruan Tinggi diharapkan dapat mencetak sarjana-sarjana yang
dapat membawa perubahan di tengah masyarakat. Perguaran Tinggi diharapkan dapat
mencetak sarjana-sarjana yang dapat menjadi agent
of change, agent of transformation, di tengah masyarakat. Dalam kondisi
semacam itu, bisa saja tujuan individual mahasiswa yang bersifat sempit dapat
tercapai, seperti bisa diterima jadi guru, jadi PNS, dst. Namun tujuan kelembagaan yang diharapkan
dapat membawa kemajuan bagi peradaban bangsa ini menjadi relatif tidak
tercapai.
Untuk
itu, ada beberapa hal yang perlu kita benahi terkait sistem pendidikan di
Perguruan Tinggi.
1. Menetapkan dan Memahami Tujuan Belajar secara
Baik dan Benar
Sebelum memulai kuliah, mhs mesti
paham dan yakin tentang apa tujuan yang hendak ia capai. Ibarat kapal yang hendak berlayar, sang
nakhoda mesti tahu kemana arah nak dituju.
Dalam proses belajar mengajar di Perguruan Tinggi, ada dua
tujuan yang terlibat dan saling menunjang Pertama, tujuan lembaga
pendidikan Kedua, tujuan individual mahasiswa yang belajar. Proses
belajar mengajar mestilah mampu menyelaraskan tujuan individual dan tujuan
lembaga pendidikan dan bahkan dengan tujuan pendidikan nasional.
Contoh, lembaga pendidikan seperti Prodi PAI/STAI mempunyai
tujuan melahirkan sarjana muslim berakhlak mulia yang mempunyai keahlian dalam
bidang pendidikan dan pengajaran dan mampu menerapkan ilmunya itu secara profesional.
Tujuan ini mesti sejalan dengan tujuan individual. Ya, kalau masuk ke Fak
Tarbiyah, tentu mahasiswa secara individual mesti punya tujuan yang relevan
dengan tujuan lembaga yang dimasukinya, yaitu menjadi tenaga pendidik atau
pengajar. Tak mungkin masuk ke PTAI/PAI tetapi ternyata tujuan individualnya
ingin jadi artis, ingin jadi pengacara. Ini sama saja dengan salah masuk kamar.
Karena itu tujuan individual mesti relevan dengan tujuan
lembaga. Misalnya tadi disebutkan melahirkan sarjana Muslim. Nah ini tentu sang
mahasiswa mesti berupaya memahami dan
mengamalkan ajaran Islam dengan baik. Berupaya meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
atau kompetensi dan kecerdasan spiritualnya. Hal ini perlu disadari secara baik
oleh mahasiswa, bila tidak, tujuan lembaga susah untuk dicapai. Karena itu, di
sinilah pentingnya diadakan program2 yang berbentuk hidden curriculum, selain
yang bersumber dari written curriculum. Mahasiswa
dapat mengembangkan potensi dirinya, baik potensi intelektual, emosional dan
spiritual melalui kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler, yang dimotori oleh senat
mahasiswa Univ. Fakultas, HMJ, Forum-forum studi keislaman, organisasi
keagamaan seperti HMI dan sebagainya. Dimana melalui organisasi semacam ini,
mahasiswa melaui proses learning by doing,
akan dapat mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya, baik potensi
intelektual, emosional maupun spiritualnya. Melalui kegiatan-kegiatan di
organisasi yang dimotori langsung oleh mahasiswa, mahasiswa akan memperoleh pengalaman nyata, pengetahuan dan wawasan
yang dapat meningkatkan kematangan dan kecerdasan intelektual, emosional dan
spiritualnya. Banyak kegiatan yang dapat dilakukan, seperti seminar, diskusi,
pelatihan, short course, memperingati hari-hari besar Islam dan kegiatan-kegiatan
yang dapat meningkatkan kompetensi keislaman.
Kemudian, pada tujuan tadi juga disebutkan: “melahirkan
sarjana berakhlak mulia”. Ini sekilas terkesan seperti klise, tapi inilah
sesungguhnya tujuan pendidikan yang kita mesti punya komitmen untuk mencapainya
bersama-sama. Masalah akhlak, karakter ini akhir-akhir ini menjadi isu yang
hangat dibicarakan. Baik melaui seminar, diskusi dan forum-forum ilmiah lainnya
dalam rangka mencari solusi terhadap masalah-masalah yang sedang dihadapi
bangsa ini terkait degradasi moral, dan
bagaimana membangun karakter bangsa. Bahkan juga banyak pelatihan yang
dilakukan dalam rangka memperbaiki moralitas dan karakter bangsa ini seperti
pelatihan ESQ, Pelatihan Soft Skill,
dan Living Value Education . Namun
kegiatan-kegiatan dan upaya tersebut tidak akan membawa hasil yang diharapkan
bila masing-masing individu yang terlibat tidak memiliki komitmen untuk berubah,
dan berupaya untuk melakukan perubahan.
Akhlak dan moral adalah hal penting yang harus dimiliki, bila seseorang
ingin hidupnya sukses dan bahagia, tidak hanya di kehidupan akhirat tapi juga
di kehidupan dunia. Maka tidak heran kalau Daniel Goleman berkesimpulan bahwa
kesuksesan karir dan keberhasilan seseorang di masyarakat 80% ditentukan/disumbangkan
oleh kecerdasan emosional dan hanya 20% saja ditentukan oleh faktor kecerdasan
Intelektual (IQ). Dengan demikian, kepintaran tidak menjamin seseorang untuk
sukses bila tidak didukung oleh moral dan akhlak yang baik.
Tujuan lembaga maupun individual
dalam mencapai akhlak mulia ini menjadi penting untuk ditegaskan , mengingat
salah satu persoalan yang saat ini dialami bangsa ini adalah terjadinya degradasi moral. Penurunan nilai-nilai moral ini
terindikasi dari maraknya
korupsi dalam berbagai bentuknya, membudayanya ketidakjujuran, lemahnya
solidaritas sosial, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara,
bahkan sering juga terjadi tindakan amoral, asusila, dan perbuatan
anarkis. Kita sering dan dengan mudah dapat informasi tentang tindakan amoral,
pembunuhan sadis, perampokan dsb baik dari media cetak maupun elektronik.
Padahal, banyak pakar, filosof dan
orang-orang bijak yang mengatakan bahwa untuk mewujudkan sebuah peradaban
bangsa, faktor moral (akhlak) adalah hal
utama yang harus dibangun terlebih dahulu.
Moral/akhlak/karakter bangsa merupakan fondasi atau alas bagi
pembangunan sebuah masyarakat yang tertib, aman, dan sejahtera. Berdasarkan
hasil penelitian terdapat hubungan yang signifikan antara moralitas dan tingkat
kesejahteraan suatu bangsa. Bangsa yang moralitasnya baik cenderung menjadi
bangsa yang tertib aman dan sejahtera. Sebaliknya, peradaban dan kemajuan
sebuah bangsa akan menurun bahkan rapuh apabila terjadi demoralisasi pada
masyarakatnya.
Untuk konteks Indonesia, berdasarkan Survei
PERC (Political and Economic Risk Consultancy) tahun 2002 menunjukkan Indonesia
berada pada rangking satu dalam hal korupsi di Asia. Sedangkan Singapura
termasuk dalam 10 besar negara paling bersih di dunia, dan ke sepuluh negara
tersebut adalah negara maju. Kondisi ini tentu meprihatinkan kita. Untuk keluar
dari kondisi ini, dibutuhkan kesadaran semua pihak untuk bersama-sama, memainkna
peran sesuai fungsi masing-masing membenahi dan membangun karakter bangsa.
Begitu pula dengan kita yang di PT. kita
perlu berkomitmen untuk melahirkan sarjana yang ber akhlak mulia. Bagaimana
caranya? Pertama, seperti yang sudah disampaikan tadi, perlu komitmen bersama,
baik oleh mahasiswa mamupun lembaga dengan menciptakan proses dan pengalaman
belajar yang mengarah ke tujuan itu, baik melalui written curriculum
maupun melalui hidden curriculum.
Poin
kedua yang penting untuk dilakukan dalam kaitannya dengan belajar –mengajar di
Perguruan Tinggi dalam rangka mewujudkan kepribadian kesarjanaan adalah
meredefinisi makna kuliah.
2. Redifinisi Makna Kuliah
Redefinisi,
atau memeperjelas kembali makna kuliah ini menjadi penting. Karena tidak jarang
terjadi kekeliruan dalam memahami makna kuliah. Kuliah/tatap muka sering
dianggap sebagai kegiatan belajar yang utama, dan dosen dipandang sebagai sumber
pengetahuan yang utama. Bahkan kadang kuliah/dosen dipandang sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan. Karena itu, proses belajar yang terjadi lebih
berbentuk banking concept (seperti
konsep bank). Mahasiswa diposisikan seperti celengan kosong, dosen bertugas
menabung ilmu, atau mengisi celengan itu. Dosen menyampaikan materi, kegiatan
mahasiswa adalah datang, duduk, dengar, catat, hapal, dikurangi berpikir (D3CH-B).
Catatan kuliah dianggap sebagai jimat yang ampuh. Bahkan kalau perlu mahasiswa
tidak usah datang ke kampus, cukup memfotokopi saja catatan temannya. Dalam
kondisi belajar semacam itu, potensi-potensi yang ada dalam diri mahasiswa
menjadi tidak berkembang secara optimal dan efektif.
Kekeliruan
persepsi ini bukan semata-mata kesalahan mahasiswa karena persepsi tersebut
timbul justru dari sikap dosen yang secara tidak sadar telah menciptakan
kondisi demikian. Persepsi yang keliru semacam ini perlu diluruskan. Terutama
bagi mahasiswa yang baru memulai kuliah, agar tidak terkena virus
kesalahpahaman ini.
Proses
belajar merupakan kegiatan mandiri yang terencana yang tujuannya adalah untuk
mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam peserta didik, baik potensi pikir,
potensi emosi/rasa, potensi spirit.
Kuliah
/ tatap muka sesungguhnya merupakan bentuk interaksi antara dosen, mahasiswa
dan pengetahuan/ketrampilan. Pengetahuan itu sendiri tersimpan dalam bentuk media cetak seperti buku, artikel, jurnal,
hasisl penelitian, dalam bentuk audio, visual dan tentunya sumber pengetahuan
lainnya adalah kemampuan dosen. Karena itu, penting dicatat bahwa kuliah/tatap
muka bukanlah satu-satunya kegiatan belajar. Dosen juga bukan satu-satunya
sumber pengetahuan. Dosen dan mahasiswa memiliki kedudukan yang sama dalam
akses terhadap pengetahuan. Beda dosen dan mahasiswa adalah bahwa dosen lebih
memiliki wawasan dan pengalaman-pengalaman berharga yang berkaitan dengan
pengetahuan tersebut. Wawasan dan pengalaman tersebut antara lain diperoleh
dosen karena mereka telah mengalami proses belajar terlebih dahulu, bahkan sampai
ke level S2 dan S3, karena pergaulannya dengan para praktisi, pengalaman
hidupnya atau karena penelitian yang dilaksanakannya.
Dengan
demikian, kuliah harus diartikan sebagai ajang untuk berbagi pengetahuan dan
pengalaman (to share the knowledge and experiences) antara dosen dan
mahasiswa. Temu kelas harus merupakan ajang konfirmasi pemahaman mahasiswa
terhadap materi pengetahuan sebagai hasil kegiatan belajar mandiri.
Untuk
itu, di awal perkuliahan dosen mesti menyampaikan silabus dan membuat
kesepakatan tentang rencana belajar berupa kontrak belajar (learning
contract). Pada saat yang sama juga disampaikan referensi/sumber belajar,
baik yang primer maupun sekunder. Ini berarti dosen dan mahasiswa harus
memegang buku materi, rujukan/referensi yang sama yang idealnya selalu dibawa dan digunakan
bersama di kelas.
Mahasiswa
mesti telah mempersiapkan diri dengan cara membaca dan mengakses materi kuliah
baik melalui media cetak seperti buku, artikel, jurnal, atau media audio visual, seperti kaset, CD. dsb yang
telah ditunjukkan oleh dosen untuk dijadikan sebagai rujukan. Dengan demikian,
mahasiswa diharapkan tidak masuk kelas dengan pikiran kosong terkait materi,
melainkan diharapkan sudah mempunyai persepsi dan pengetahuan awal yang
memadai.
Dengan
demikian fungsi kelas / tatap muka akan menjadi sarana untuk lebih memahami apa
yang sebelumnya meragukan. Ini artinya tatap muka berfungsi sebagai wadah untuk
penguatan pemahaman dan bukan sebagai sumber pengetahuan. Temu kelas harus
merupakan ajang konfirmasi antara pemahaman mahasiswa terhadap materi dengan
sumber dan referensi yang sudah disepakati dan disampaikan dosen pada saat
kontrak belajar.
Dengan
penjelasan seperlunya dari dosen, mahasiswa akan dengan segera dan mudah
menangkap apa yang dijelaskan atau yang didiskusi di kelas. Tingkat pemahaman
akan meningkat dengan cukup pesat karena penjelasan dosen fungsinya hanyalah
untuk memperkuat apa yang sudah dibaca, dipelajari dan dipahami sebelum masuk
kelas oleh mahasiswa. Dosen tidak perlu lagi menjelaskan
segala masalah secara rinci dan runtut.
Disinilah letak relevansi
dan urgensi komponen belajar mandiri dan terstruktur yang ada pada sistem SKS.
Dimana dengan sistem SKS, mata kuliah yang berbobot 2 SKS memerlukan mahasiswa
belajar 100 menit di kelas, plus 2 jam belajar secara mandiri dan 2 jam belajar
terstruktur, agar mereka dapat memahami dan mengembangkan materi secara baik.
Bila
mahasiswa tidak menyiapkan diri dan masuk kelas tanpa pemahaman awal yang
memadai, maka pemahaman akan menjadi terhambat atau bahkan tidak ada proses
pemahaman sama sekali karena dosen tidak lagi menjelaskan
segala masalah secara rinci dan runtut.
Mengapa
? karena waktu untuk kuliah / tatap muka sangat pendek dan terbatas. Tentu
saja, cakupan materi dan kedalaman pemahaman apalagi penguasaan keterampilan tidak
dapat diberikan secara seketika dalam waktu yang pendek tersebut. Lalu, apakah yang
harus dikerjakan dalam waktu yang sangat pendek dan terbatas tersebut? Kalau
kuliah diisi dengan kegiatan yang sebenarnya mahasiswa dapat melakukan sendiri
di luar jam tatap muka, maka kelas tersebut sama sekali tidak mempunyai nilai
tambah. Di dalam kelas tersebut tidak terjadi proses belajar yang sesungguhnya;
yang sesungguhnya terjadi adalah pengalihan catatan dosen ke catatan kuliah
mahasiswa melalui proses dengarkopi . Proses dengarkopi tentu saja jauh lebih
primitif dibandingkan dengan fotokopi.
Singkatnya,
kita perlu kembali pada makna tatap muka/temu kelas yang sesungguhnya. Dimana
tatap muka bukanlah kegiatan belajar utama, atau satu-satunya kegiatan belajar
bagi mahasiswa. Tatap muka mestilah dimaknai sebagai wadah to share knowledge and experiences, to reinforce (memperkuat) pemahaman mahasiswa terhadap materi, yang
telah diperoleh mahasiswa melalui belajar mandiri dan terstruktur.
Poin ketiga yang penting untuk dibenahi dalam kaitannya dengan
belajar –mengajar di Perguruan Tinggi adalah terkait dengan pemahaman dan
implementasi pemberian “Pengalaman belajar dan Evaluasi “ .
3. Pengalaman
Belajar atau Nilai
Nilai
yang diperoleh peserta didik mempunyai fungsi ganda. Pertama, nilai berfungsi sebagai ukuran keberhasilan peserta didik
dalam mempelajari mata kuliah. Kedua, berfungsi
sebagai alat evaluasi keberhasilan mata
kuliah itu sendiri. Dalam kenyataannya, fungsi yang kedua sering diabaikan.
Kita sering kurang memperhatikan apakah suatu matakuliah berhasil mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Dimana tujuan mata kuliah adalah mengubah pengetahuan,
perilaku atau kepribadian mahasiswa termasuk penalarannya.
Makna
fungsi nilai yang pertama (sebagai ukuran keberhasilan peserta didik) sebenarnya
sangat tergantung pada kemampuan nilai untuk merefleksi apakah peserta telah
menjalani proses belajar yang semestinya. Dalam hal tertentu, nilai yang
diperoleh mahasiswa memang merupakan indikator
kesuksesan mahasiswa dalam menempuh mata kuliah tetapi mungkin
bukan merupakan ukuran keberhasilan pencapaian tujuan pengajaran mata
kuliah.
Untuk
itu, proses belajar dan pengalaman belajar mestilah dilakukan dalam rangka
mencapai tujuan itu. Evaluasi dilakukan untuk mengukur apakan tujuan tersebut
dapat dicapai. Dalam hal inilah nilai ujian sebagai ukuran keberhasilan harus dipertimbangkan
validitasnya. Bagi mahasiswa yang mempunyai tujuan individual yang jelas,
tentunya nilai bukan merupakan tujuan tetapi lebih merupakan suatu konsekuensi
logis dari apa yang dilakukannya selama mengikuti proses belajar. Oleh karena
itu, pertanyaan yang sangat fundamental bagi mahasiswa sejati adalah apakah
mereka belajar untuk nilai atau belajar untuk tahu. Seyogyanya mahasiswa
belajar bukan untuk nilai tetapi untuk memperoleh pengetahuan dan kompetensi
tertentu.
Bila
penyelenggaraan kuliah memungkinkan seorang mahasiswa dapat memperoleh nilai
tinggi tanpa mahasiswa tersebut mengalami atau menjalani proses belajar yang
semestinya maka mata kuliah dan proses belajarnya sebenarnya belum mengajarkan
apa-apa kepada mahasiswa. Bila proses belajar dianggap hal yang penting
daripada sekadar nilai ujian (dan inilah sebenarnya jasa yang ditawarkan oleh
lembaga pendidikan kepada masyarakat) maka pengendalian proses belajar harus
menjadi perhatian utama. Kesepakatan mengenai bagaimana proses belajar-
mengajar akan dilaksanakan perlu disampaikan kepada mahasiswa.
4.
Konsepsi
Tentang Dosen
Telah disebutkan bahwa dalam proses belajar mengajar yang
semestinya, dosen bukan merupakan sumber pengetahuan utama bahkan hanya
satu-satunya sumber. Dalam proses belajar mengajar yang efektif, dosen
semestinya harus dipandang sebagai seorang manajer kelas. Dalam teknologi
pendidikan, dikatakan bahwa dosen bertindak sebagai director, facilitator,
motivator, dan evaluator proses belajar. Peran dosen sebagai
manajer kelas dan nara sumber mata kuliah. Dosen menetapkan sumber pengetahuan apa saja yang harus
dipelajari secara mandiri oleh mahasiswa dalam bentuk silabus atau program
belajar, mahasiswa menjalani program belajar tersebut di bawah arahan dosen,
ada yang melalui tatap muka di kelas, ada yang melalui pelaksanaan tugas yang
berikan secara terstruktur oleh dosen, dan ada yang melalui belajar secara
mandiri yang dilaksanakan oleh mahasiswa.
5. Kemandirian
dalam Belajar
Telah
disebutkan di atas bahwa belajar sebenarnya merupakan kegiatan individual dan berkelanjutan.
Namun, proses belajar mengajar yang sekarang dilakukan mahasiswa pada umumnya belum dapat dipandang sebagai
proses belajar mandiri. Hal ini disebabkan oleh karena dalam proses belajar
mengajar kita lebih cenderung memberikan ikan dari pada kailnya. Kita lebih
cenderung memberikan materi dari pada mengajarkan bagaimana cara belajar. kemandirian
belajar sering juga menjadi terhambat karena aspek berpikir dan bernalar banyak
diambil alih oleh dosen. Banyak kegiatan
belajar yang sebenarnya merupakan kegiatan mandiri (baik pada tataran thinking maupun doing) yang diambil alih oleh dosen. Ibarat memakan buah apel,
dosen mengunyahkan buah tersebut sampai siap ditelan dan mahasiswa tinggal
menelannya. Proses semacam ini sebenarnya merupakan proses pembebalan dan bukan
proses penajaman pikiran.
Dampaknya,
mahasiswa kurang terbiasa belajar secara mandiri. Mahasiswa kurang dilatih
untuk berpikir kreatif dan inovatif. Mahasiswa kurang terbiasa mencari dan menemukan
sendiri pengetahuan itu. Sebaliknya mereka cenderung mengoptimalkan dirinya
dengan menerima saja apa yang diajarkan. Jadi lebih banyak berperan sebagai
objek didik dari pada subjek belajar. Dampak dari cara belajar semacam itu terindikasi
dari ketidakmampuan sebagian mahasiswa dalam mengungkapkan gagasan dan
menemukan masalah untuk bahan penulisan skripsi atau tulisan lainnya.
Sebetulnya
saat ini, sudah banyak temuan-temuan tentang konsep belajar yang dapat kita
terapkan, seperti Quantum Learning,
Accelerated Learning, Learning Revolution. Asumsinya adalah bahwa manusia
jika mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu
membuat loncatan prestasi belajar secara berlipat ganda. Selain itu juga ada
konsep Brainware Management. Salah
satu inti dari Brainware Management adalah
bagaimana kita bisa mengoptimalkan potensi otak, mind dan brain untuk
meraih prestasi peradaban secara cepat dan efektif. Satu lagi konsep belajar
yang tak kalah pentingnya dan populer saat ini adalah Active Learning yang memposisikan student sebagai learner.
Ini merupakan kesadaran baru bahwa yang harus diutamakan adalah peran anak
didik sebagai subjek yang aktif dalam pembelajaran, bukan sebagai objek yang
pasif.
Selama
ini, dalam pembelajarn kita, peran guru/dosen lebih ditonjolkan, sementara
mahsiswa diposisikan sebagai objek bagaikan kaleng tabungan untuk menampung dan
menghapal petuah-petuah dosen. Mahasiswa
datang ibarat celeng kosong, dosen berperan mengisi celengan itu. Metode ini
sudah banyak dikecam para ahli, namun masih saja sangat kuat dipakai.
Bagi
umat Islam active learnig mestinya bukan lagi sesuatu yang baru. Karena dari
segi nomenklatur kita sudah familiar dengan istilah tn halib untuk menyebut mahasiswa murid untuk menyebut
pelajar. Thalib yang merupakan Isim Fa’il dari thalab berarti orang yang mencari. Begitu juga murid , bentuk Isim Fa’il dari arada,
orang yang mempunyai keinginan untuk memperoleh ilmu. Artinya
siswa/mahasiswalah yang mesti aktif mencari ilmu, seperti yang dilakukan oleh
para ilmuwan muslim dan ulama kita zaman dahulu. Seperti Imam Syafi’i, Bukhari
dan lain-lain yang aktif mengembara dari satu negeri ke negeri lainnya untuk
mencari ilmu. Namun disayangkan filosofi ini kurang begitu dihayati dan
diterapkan.
6. Konsep Memiliki Buku
Buku
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari belajar. Buku merupakan
sumber pengetahuan. Hal yang menjadi masalah kita, adalah memiliki buku belum
merupakan suatu sikap atau budaya kita. Kurangnya minat untuk memiliki buku
mungkin timbul karena anggapan bahwa dosen dan kuliah merupakan sumber
pengetahuan utama. Bisa jadi juga karena kurangnya kemampuan ekonomi untuk
membeli buku. Mungkin juga masih dianggap hal yang kurang pas di Indonesia
untuk memaksa mahasiswa membawa buku dalam kuliah dan digunakan bersama di
kelas.
Selain
itu, masalah yang kedua adalah, membaca masih belum menjadi habit (kebiasaan) dan kebutuhan kita.
Berbeda dengan masyarakat di negara-negara maju, dimana membaca sudah menjadi
budaya. Orang lebih cenderung memanfaatkan waktu untuk membaca ketika berada di
bandara, stasiun, pesawat maupun di kereta, dsb. DKadang ada yang merasa, khlam
amsyarakat kita, budaya dan minat baca masih rendah. Orang lebih suka ngobrol
bahkan kadang dengan orang yang baru dikenalnya, nonton TV dari pada membaca.
Kadang ada juga yang khawatir dikira sok rajin bila membaca buku, apalagi di
tempat-tempat umum. Ketika jadi mahasiswa, cara pandang semacam ini, mesti
dirubah. Minat baca mesti ditingkat, buku seyogyanya menjadi teman setia. Khairu jaliisin fiz zamani kitabun.
7. . Kemampuan Berbahasa
Kemampuan
berbahasa dan menggunakan bahasa sebagai alat ekspresi buah pikiran bukan
merupakan sesuatu yang gifted tetapi merupakan keterampilan yang harus
dipelajari dengan penuh kesadaran. Sayangnya banyak mahasiswa yang merasa dapat
berbahasa (bahasa Indonesia khususnya) bukan karena mempelajarinya secara sadar
akan tetapi memperolehnya secara alamiah. Bila seseorang ingin mencapai dan
menikmati pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan ilmiah, maka bahasa yang dikuasai
secara alamiah harus ditingkatkan (improved and refined) menjadi bahasa
ilmiah. Kemampuan berbahasa ini menjadi sangat penting karena menjadi alat
memahami pengetahuan yang kompleks dan konseptual, sekaligus untuk
mengungkapkan buah pikiran.
Karya ilmiah dan tinggi
tidak dapat begitu saja dipahami dengan hanya menggunakan bahasa alamiah.
Penguasaan bahasa yang memadai (baik struktur maupun kosakata) juga sangat
membantu seseorang untuk mampu mengekspresi gagasan dan perasaan atau mendeskripsi
masalah secara cermat dan efektif.
Inilah
beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita bersama. Dengan harapan kita
memiliki komitmen yang lebih kuat untuk berubah untuk maju (change toward advance). Sehingga
diharapkan perguruan tinggi tidak saja mampu melahirkan sarjana yang dapat
mencapai tujuan individualnya belaka, tetapi juga dapat mencapai tujuan
perguruan tinggi yaitu melahirkan sarjana yang dapat membawa perubahan (agent of change dan agent of transformation).